Baru saja saya menuntaskan Squid Game musim ketiga—serial yang sempat ramai berseliweran di YouTube, disertai berbagai komentar dan ulasan yang kebanyakan bernada negatif. Banyak yang menilai musim ini mengecewakan dan tak mampu memenuhi ekspektasi. Namun, setelah menontonnya hingga akhir, saya justru memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Musim ketiga ini merupakan kelanjutan langsung dari musim kedua, saat Seong Gi Hun dan beberapa peserta lainnya gagal melakukan pemberontakan. Mereka akhirnya ditangkap kembali dan dipaksa masuk ke dalam permainan mematikan tersebut. Sementara itu, detektif Hwang Jun Ho dan pihak luar berusaha melacak keberadaan pulau misterius tempat permainan itu berlangsung.
Seong Gi Hun sendiri digambarkan sebagai sosok yang telah kehilangan semangat hidup. Rasa trauma dan keputusasaan membuatnya enggan melanjutkan apa pun, termasuk bertahan hidup. Namun, ada satu hal yang membuatnya perlahan bangkit: kemunculan seorang bayi—anak dari pemain nomor 222 yang tewas dalam permainan. Awalnya Gi Hun bersikap cuek, tetapi lambat laun ia merasa iba dan tergerak untuk melindungi sang bayi.
Dari sisi permainan, Squid Game 3 (selanjutnya saya singkat SG3) tetap menyajikan permainan yang menarik, sadis, dan penuh strategi. Unsur ketegangan tetap terjaga, terutama dengan hadirnya elemen hadiah uang yang bertambah setiap kali ada peserta tewas. Keberadaan para VIP pun masih menjadi simbol orang-orang kaya tak bermoral yang menjadikan penderitaan orang miskin sebagai hiburan eksklusif.
Salah satu kritik yang banyak disuarakan adalah peran detektif Hwang, wanita Korea Utara, dan Seong Gi Hun yang dinilai tidak efektif atau tidak jelas tujuannya. Namun, bagi saya, justru hal itu merefleksikan realitas. Permainan ini dijalankan oleh elite berkuasa dengan teknologi canggih dan jaringan luas. Mustahil menghentikan mereka hanya dengan kekuatan segelintir orang tanpa sumber daya memadai.
Alur dan subplot pendukung cukup menyentuh. Ada momen haru ketika seorang ayah akhirnya bisa kembali bersama putrinya yang sakit, serta sang wanita Korea Utara yang mendapat harapan baru lewat anaknya. Semua ini memberikan lapisan emosional yang kuat di tengah brutalnya permainan.
Akhir dari SG3 menurut saya cukup memuaskan dan memberi kelegaan. Saya tak akan membocorkan detailnya, tetapi akhir cerita berhasil memberikan sebuah konklusi menarik tentang kemungkinan berakhirnya permainan sadis ini.
Salah satu adegan paling berkesan bagi saya adalah ketika sang Front Man membuka topeng di hadapan Gi Hun dan menawarkan sesuatu yang mengguncang emosinya. Wajah Gi Hun penuh amarah, kecewa, dan ketidakberdayaan—emosi yang sangat manusiawi dan kuat.
Menariknya, di akhir episode, ada petunjuk bahwa semesta Squid Game akan dikembangkan lebih jauh. Tersirat dari adegan dua orang asing yang tengah bermain Ddakji di sebuah gang—membuka kemungkinan versi Amerika atau ekspansi global dari waralaba ini. Apakah itu keputusan yang tepat? Kita lihat saja nanti.
Demikian ulasan saya. Squid Game 3 masih layak ditonton, apalagi bagi yang telah mengikuti dua musim sebelumnya. Silakan saksikan di Netflix dan tulis pendapatmu di kolom komentar. Bisa jadi, pengalaman menontonmu berbeda dengan saya.
Wassalamu’alaikum.
Gambar : Pinterest
1 Komentar
Ulasan yang saya tunggu-tunggu nih. Tapi jujur sih, menurut saya season 3 ini memiliki ending yang wakwaw banget. Nontonnya campur aduk, mau nangis tersedu-sedu kaya season 1 tapi gak bisa, karena emosi kita terpancing mulu
BalasHapus