Mungkin banyak yang menduga bahwa menulis merupakan aktivitas sampingan yang tak layak jadi pekerjaan utama. Bahkan tak sedikit yang mengira bahwa kaya dari hasil menulis adalah hal yang sangat sulit, bahkan mendekati mustahil.
Anggapan itu saya rasa wajar di masyarakat kita. Bagaimana tidak, selama ini kita hidup di negara yang minat baca bukunya minim sekali. Jangankan merelakan sejumlah uang untuk membeli buku, bahkan di perpustakaan saja, buku-buku berdebu, karena jarang terjamah oleh tangan pembaca. Padahal di sana gratis. Tinggal datang, pilih buku, baca, bahkan boleh dibawa pulang. Tapi tetap saja, membuat perpustakaan penuh pengunjung adalah hal yang sangat sulit.
Beberapa tahun yang lalu saya membangun sebuah rumah baca di kampung halaman. Di sana siapa pun boleh pinjam buku, gratis. Saya sediakan ribuan judul buku, mulai buku anak, sampai novel-novel terbaru. Tapi tetap saja, ramai hanya di awal, selanjutnya kembali sepi.
Melihat fenomena tersebut, tak sedikit yang lantas beranggapan bahwa profesi sebagai penulis sangatlah tidak menjanjikan. Kehidupan penulis mayoritas memprihatinkan. Sudah lama-lama nulis, ujung-ujungnya bukunya tak laku, numpuk di gudang.
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, profesi penulis pun banyak yang terkena imbasnya. Toko buku banyak yang tutup, penerbit tak sedikit yang gulung tikar, royalti teman2 penulis banyak yang tertunda pembayarannya. Maka di kesempatan kali ini saya ingin berbagi tip bertahan di krisis Corona di bidang kepenulisan. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
1. Penulis, Profesi Masa Depan
Sebelumnya saya yakin, anda masih ragu apakah dari menulis bisa dapat penghasilan yang layak untuk hidup di Indonesia? Saya juga yakin masih ada dari anda yang bertanya-tanya, emang bisa ya berpenghasilan besar hanya dari tulisan?
Karena sebagaimana yang kita tahu bersama, bahwa profesi menulis masih belum begitu populer di Indonesia. Jumlah penulis di Indonesia masih cukup sedikit. Padahal profesi sebagai penulis merupakan salah satu profesi yang cukup menggiurkan. Bagaimana tidak, potensi penghasilan yang tak terbatas bisa kita raih jika kita benar-benar mau terus belajar dan mengembangkan inovasi dalam dunia kepenulisan.
Itu sih kata kuncinya, yakni terus berinovasi dan tak berhenti untuk terus belajar. Bahkan prinsip ini tidak hanya berlaku dalam dunia kepenulisan. di bidang apapun hal ini berlaku. Itu mengapa saya menyebut penulis adalah profesi masa depan. Karena jika kita tak mau belajar, maka kita akan tertinggal dan mati.
Silakan kawan-kawan amati. Kini dalam dunia kerja, gelar akademis secara perlahan mulai ditinggalkan. Dunia kerja perlahan bergeser, yang mereka cari bukan lagi kamu lulusan mana atau gelarmu apa. Tapi "Apa yang bisa kamu lakukan? Apa keahlianmu yang bisa kamu kontribusikan untuk perusahan? Dan pertanyaan yang terasa nonjok diantara seluruh pertanyaan yang ada, mengapa kami harus memilih anda, bukan orang lain?
Maka siaplah tersingkir bagi anak muda yang mengabaikan pembelajaran dalam hidupnya. Dunia bergerak dengan sangat cepat, persaingan yang terjadi bukan antara 'yang malas' dan 'yang semangat'. Tapi 'yang belajar' dan 'yang belajar lebih cepat'.
Maka jangan pernah berhenti belajar. Jadikan sekelilingmu sebagai kelas, tiap manusia sebagai guru, peristiwa hidup sebagai kurikulum, dan berbagai masalah hidup sebagai ujian. Lalu tuliskan semua pelajaran itu dalam bentuk buku yang menginspirasi ribuan, bahkan jutaan pembaca di Indonesia.
Maka sesungguhnya, menjadi penulis tidak akan ada matinya. Penulis baru bisa pensiun bukan saat usianya telah senja, bukan karena tak ada lagi inspirasi, bukan karena matinya bisnis penerbitan. Penulis baru pensiun saat dia sudah tidak bisa dan tidak mau menulis lagi. Artinya, keputusan untuk pensiun, sangat ditentukan oleh pribadi penulisnya.
2. Jangan Terlalu Berharap pada Royalti
Jika belum yakin bisa nulis buku yang laris keras di pasaran, saran saya jangan terlalu menggantungkan pada royalti. Sambil terus belajar nulis buku yang bisa best seller, agar tetap bisa berpenghasilan besar dari menulis, baiknya gunakan strategi lain untuk meraihnya. Banyak banget cara lain yang bisa ditempuh.
Sekadar berbagi cerita sebagai penyemangat, jujur, selama ini untuk kebutuhan kami setiap bulan, kami tidak bergantung pada royalti buku. Untuk menafkahi keluarga, kebanyakan berasal dari bisnis self publishing, menjadi publik speaker, pelatihan, kursus menulis, dan menjadi penjual buku.
Penjual buku? Ya, serius. Jual buku saya sendiri. Jadi saya punya salah satu lini bisnis di Marsua Media yang tugasnya menjual buku-buku saya. Bisa teman2 cek di @katalog.marsua. Pendapatannya jauh lebih besar daripada royalti buku. Jika royalti buku hanya 10% dari harga buku, laba dari penjualan buku kami bisa dapat 20-30%, bahkan kadang bisa sampai 50%.
Selain itu saya juga memiliki bisnis publishing yang menerbitkan karya-karya saya untuk edisi spesial. Jika di penerbit besar saya lebih menargetkan pasar di toko buku konvensional semacam Gramedia, Gunung Agung, Togamas, Kharisma, dan lain-lain, untuk self publishing target utamanya adalah pasar online. Dan hasilnya sungguh luar biasa.
Jika untuk kebutuhan sehari-hari tercukupi dari income di luar royalti, lalu uang royalti untuk apa dong? Royalti lebih saya anggap sebagai bonus enam bulanan saja. Jadi tiap enam bulan, saya menerima bonus uang yang lumayan besar. Seringnya uang itu saya investasikan.
3. Seminar dan Kelas Online
Di media sosial, saya pernah mengungkapkan bahwa sejujurnya saya ini orangnya pendiam dan pemalu banget. Silakan tanya kepada kawan=kawan saya semasa SD, SMP, SMA, kuliah, bahkan saat di kantor, bagaimana Rifa’i bagaimana? Maka saya yakin jawabannya akan seragam, Rifa’i itu pendiam dan pemalu.
Bahkan itulah salah satu alasan mengapa saya memilih menjadi penulis buku. Karena saya kesulitan menyampaikan ide, pengalaman, wawasan melalui bahasa lisan, saya pun terpikir untuk menyampaikannya melalui tulisan. Sehingga meskipun saya tidak banyak bicara, tetapi ide-ide yang ada di kepala saya tetap bisa terekspresikan dengan baik.
Namun setelah menulis buku, tidak saya duga sama sekali, ternyata saya malah diminta untuk membedah buku yang saya tulis. Awalnya saya ragu, antara mengiyakan atau menolak. Permintaan pertama, saya terima, dengan alasan pingin coba-coba. Setelah pengalaman pertama, ternyata saya semakin ingin mencoba lagi.
Akhirnya undangan kedua, ketiga, keempat, saya coba terus. Lama-kelamaan malah kayak jadi candu. Sebulan rata-rata empat sampai delapan seminar saya hadiri. Karena saya biasanya membatasi seminar dan bedah buku hanya di hari libur, yaitu Sabtu dan Minggu.
Awal-awal nulis, saat masih menjadi mahasiswa, saya mengiyakan seminar dan bedah buku di berbagai daerah, niat utamanya sebenarnya ingin jalan-jalan gratis. Saya menikmati tiket pesawat gratis ke berbagai daerah, selain itu saya menginap di hotel tanpa ikut bayar, bahkan untuk makan dan jalan-jalan pun sudah disediakan oleh panitia. Asyik kan? Maklum saat itu masih menjadi mahasiswa yang asyik betul menikmati kesenangan semacam itu.
Namun setelah bedah buku, saya tidak menduga sama sekali, ternyata pulangnya juga diberi fee pembicara yang jumlahnya jutaan rupiah. Dalam sebulan saya bisa dapat puluhan juta hanya dari acara seminar dan bedah buku saja.
Setelah saya pelajari, ternyata banyak penulis yang justru meniatkan undangan seminar dan bedah buku ini sebagai income terbesarnya. Artinya, mereka menulis buku justru bukan ingin meraih penghasilan dari royalti yang didapatnya. Buku hanya mereka jadikan sebagai identitas saja. Target utamanya justru menjadi pembicara publik atau publik speaker.
Saat ini public speaker menjadi profesi yang cukup menggiurkan. Bukankah menarik, jika kita bicara dua tiga jam dibayar jutaan rupiah? Dalam sebulan kita seminar dua tiga kali saja sudah bisa menandingi mereka yang kerja kantoran berhari-hari.
Apalagi jika nama kita semakin dikenal publik dan menjadikan seminar kita sebagai bisnis yang profesional, maka potensinya bisa lebih dahsyat lagi.
Sementara untuk musim pandemi ini, bedah buku, seminar, pelatihan menulis, bisa dilakukan secara online. Dalam sehari saya bisa mengisi di beberapa forum atau kelas online sekaligus. Misal besok pagi saya ngisi kelas menulis yg diadakan KMO di Channel Telegram, pesertanya 900 peserta lebih, dan itu kelas berbayar. Lalu sorenya, saya mengisi bedah buku Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati yg diadakan oleh Perpustakaan Fatimatuzzahro, Purwokerto, saya cek pesertanya sudah 200-an lebih. Besok paginya ngisi seminar di Laksmi Muslimah, salah satu perusahaan bridal wedding di Surabaya.
Jika sebelumnya saya harus bepergian dari satu kota ke kota lain, kini lebih fleksibel. Tinggal buka aplikasi Zoom, Whatsapp Grup, Channel Telegram, sudah bisa mengajar dari rumah. Maka syukuri berbagai kejadian yg ada. Cari inovasi, ikuti perubahan zaman, teruslah produktif dan kreatif. Insyaallah semua kejadian akan menjadi keberkahan.
Penulis : Ahmad Rifa'i Rif'an
Sumber : Grub WhatsApp GMI E
2 Komentar
Senang bisa membaca tulisan anda. Sederhana, inspiratif dan bermanfaat. Sukses terus semoga bisa menular ke saya juga. Silakan berkunjung ke mqoshidalhadi.blogspot.com kunjungan anda, suatu kesyukuran buat kami.
BalasHapusAaaaaamiiiiin, Sama-sama 👍👍👍
Hapus